Hambatan IPC dan IPE dalam Pemberdayaan Masyarakat Terhadap Pencegahan Stunting

 

Foto : Ns. Putri Drissianti

Pandemi Covid-19 yang menyerang dunia telah membawa perubahan akibat dampak buruk pandemi bagi sektor ekonomi dan kesehatan baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan.

Dampak secara ekonomi yang terlihat secara langsung adalah banyaknya pengangguran di desa yang tidak bisa memiliki peluang usaha, sehingga pendapatan berkurang, sehingga daya beli menurun lalu menyebabkan asupan gizi untuk keluarga juga berkurang.

Secara ekonomi, kemampuan pemenuhan asupan bergizi yang mempengaruhi kualitas kelahiran bayi dinilai turut ‘terpapar’ oleh bencana pandemi sehingga program pencegahan stunting diharapkan harus menjadi solusi dalam memperbaiki kualitas kelahiran bayi.

Program pencegahan stunting harus terus dilaksanakan, agar Indonesia tidak menderita generation lost dimasa depan. Kurangnya asupan energi dan protein, pengetahuan ibu yang kurang, dan pendidikan ibu yangrendah serta pendapatan keluarga juga yang rendah merupakan fakor resiko terjadinya stunting pada balita usia 24-59 bulan.

Terdapat 2 (dua) unsur yang perlu dioptimalkan dalam melaksanakan program pencegahan stunting yaitu unsur Interprofessional Collaboration (IPC) dan Sedangkan Interprofessional education
(IPE).

Interprofessional Collaboration (IPC) adalah proses dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja yang efektif antara pelajar, praktisi, Pasien/ klien/ keluarga serta masyarakat untuk mengoptimalkan pelayanan Kesehatan. Ketika banyak petugas kesehatan dari latar belakang berbeda, bekerjasama dengan pasien, Keluarga, pengasuh dan masyarakat untuk memberikan Perawatan berkualitas tertinggi.

Sedangkan Interprofessional education (IPE) merupakan hal yang potensial sebagai media kolaborasi antar profesional kesehatan dengan menanamkan pengetahuan dan skill dasar antar profesional dalam masa pendidikan. IPE merupakan hal yang penting dalam membantu pengembangan konsep kerja sama antar profesional yang ada dengan mempromosikan sikap dan perilaku yang positif antar profesi yang terlibat di dalamnya.(WHO, 2010, Department of Human Resources for Health).

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan dalam Studi Status Gizi Indonesia (SGGI) yang diumumkan Desember 2021, mencatat angka prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 24,4 persen, sementara untuk Aceh turun menjadi 33,2 persen. Angka penurunan prevalensi stunting di Aceh tercatat turun secara signifikan hingga Desember 2021.





Penulis menyarankan bagi seluruh stakeholder di Aceh seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Pemerintahan Desa, serta lintas sektoral lainnya untuk terus melakukan pemberdayaan masyarakat melalui edukasi dengan program unggulan masing-masing.

Program yang bernilai edukasi diyakini mampu meningkatkan pengetahuan ibu tentang kebutuhan nutrisi pada balita melalui kegiatan penyuluhan gizi yang meliputi edukasi mengenai angka kecukupan gizi pada balita sesuai umur, cara mengolah makanan yang benar, serta memberikan bantuan finansial bagi keluarga yang tidak mampu.

Dalam rangka pencegahan stunting, terdapat beberapa kegiatan yang berdampak langsung yaitu pemberian PMT, pemantauan gizi di Pos Yandu, KRPL, KWT dan Bantuan Pangan Non Tunai. Dengan memaksimalkan pemberdayaan masyarakat melalui 5 (lima) kegiatan diatas, diharapkan angka prevalensi stunting dapat terus ditekan.

Terdapat 5 faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan program pemberdayaan masyarakat yaitu (1) perencanaan dan sosialisasi (2) pendampingan dan pemberian motivasi kepada kelompok sasaran, (3) pelatihan pemanfaatan hasil pekarangan mendukung diversifikasi konsumsi pangan, (4) monitoring dan evaluasi pelaksanaan program dandampaknya, (5) pentingnya aspekpromosi dan pemasaran. Jika pemberdayaan masyarakat optimal pada program-program ini maka pencegahan stunting di era new normal ini akan mendapatkan hasil yang optimal.

Selanjutnya perlu dilakukannya secara maraton sosialisasi pencegahan stunting kepada masyarakat di desa-desa, sehingga pengetahuan ibu-ibu terkait pencegahan stunting meninggkat, peminat ibu-ibu ke pos yandu meningkat, dan terhindari dari luputnya pemantauan petugas kesehatan.

Penulis menyimpulkan perlu adanya komunikasi secara kolaboratif yang intens agar terlaksanya secara optimal pada pencegahan stunting dengan memaksimalkan pemberdayaan masyarakat di tinggkat pemerintahan desa.

Penulis Adalah:
Ns. Putri Drissianti
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Syiah Kuala

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *